PENINGKATAN PERANAN KOMODITAS TEMBAKAU SEBAGAI SALAH SATU KOMODITAS SUBSEKTOR PERKEBUNAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN KABUPATEN JEMBER

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan potensi daerah subsektor perkebunan khususnya tembakau di Kabupaten Jember dengan cara melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan dan pengembangan komoditi unggulan daerah Kabupaten Jember tersebut.

Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan komoditas perkebunan khususnya tembakau adalah meliputi : ketersediaan lahan, kesesuaian lahan, agroklimat agroekosistem, jaringan distribusi pemasaran, ketersediaan sarana produksi, infrastruktur perhubungan, partisipasi masyarakat, SDM, kontribusi pemerintah daerah, pembinaan potensi dan usaha perkebunan, serta penciptaan sentra pengembangan kawasan.

Agar strategi pengembangan komoditi tembakau dapat dicapai maka mutlak diperlukan kiat-kiat baik dalam proses produksi dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas yang dihasilkan maupun pasca produksi sehingga komoditi tembakau dapat terus memiliki peranan dalam peningkatan perekonomian Kabupaten Jember.

 

Kata Kunci : subsektor perkebunan, tembakau, peningkatan ekonomi

ANALISIS POTENSI EKONOMI DI SEKTOR DAN SUBSEKTOR PERTANIAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN KABUPATEN JEMBER

ANALISIS POTENSI EKONOMI DI SEKTOR DAN SUBSEKTOR

PERTANIAN, KEHUTANAN DAN PERIKANAN

KABUPATEN JEMBER

 

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi ekonomi di sektor dan subsektor pertanian, kehutanan dan perikanan Kabupaten Jember. Di samping itu, penelitian ini juga mengidentifikasi dan menentukan sektor dan subsektor unggulan di Kabupaten Jember untuk memberikan gambaran kegiatan ekonomi unggulan yang dapat dikembangkan dalam meningkatkan potensi ekonomi di Kabupaten Jember.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk runtun waktu (time series) selama 6 tahun mulai tahun 2010 sampai dengan 2015 berupa data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Jawa Timur, PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Jember. Data itu diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis Shift-Share, Location Quotient (LQ), dan Model Rasio Pertumbuhan (MRP). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa : (1) analisis shift-share menunjukkan perekonomian Kabupaten Jember selama periode 2010-2015 mengalami peningkatan sebesar Rp2.412,3 milyar. Peningkatan kinerja perekonomian di Kabupaten Jember tersebut dapat dilihat dari sektor dan subsektor pertanian, kehutanan dan perikanan yang bernilai positif; (2) berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) sektor dan subsektor unggulan di Kabupaten Jember terdapat 1 sektor dan 1 subsektor yang mempunyai rata-rata LQ>1 atau sektor dan subsektor yang unggulan (potensial) yaitu sektor pertanian, peternakan, perburuan & jasa pertanian dan subsektor tanaman perkebunan; (3) analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) menunjukkan bahwa sektor yang dominan pertumbuhan dan kontribusi yang besar meliputi subsektor tanaman perkebunan, subsektor jasa pertanian dan perburuan, sektor kehutanan dan penebangan kayu, dan sektor perikanan; (4) hasil pembobotan berdasarkan analisis Shift-Share, Location Quotient (LQ), dan Model Rasio Pertumbuhan (MRP) diperoleh subsektor berdasarkan peringkat tertinggi hasil pembobotan yang paling potensial yaitu subsektor tanaman perkebunan.

 

Kata Kunci : Potensi Ekonomi, Shift-Share, Location Quotient (LQ), Model Rasio Pertumbuhan (MRP)

KARYA TULIS XL

Karya Tulis XL

APAKAH ANDA SUDAH BERFIKIR KRITIS ?

Manusia adalah makhluk yang istimewa. Tidak seperti makhluk hidup lainnya, manusia dikaruniai kemampuan untuk berpikir sebelum bertindak. Namun, kenyataannya, seringkali kita tidak memanfaatkan kemampuan berpikir ini secara optimal. Kita seringkali bertindak tanpa didahului dengan “berpikir”. Banyak alasan yang kita kemukakan sebagai dalih untuk “tidak berpikir”: tidak ada waktu, bukan urusan kita, atau bukan tanggung jawab kita.
Namun, tahukah Anda bahwa tindakan yang dilakukan tanpa disertai dengan proses berpikir bisa membahayakan diri sendiri? Coba saja kita perhatikan kasus anggota DPR yang perbuatannya dilakukan beberapa tahun lalu, kini tengah menjadi buah bibir.
Mungkin ketika itu sang anggota DPR tidak “berpikir” terlebih dulu tentang dampak perbuatannya di kemudian hari. Dia tidak memikirkan dampak perbuatannya, yang bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi terlebih lagi bagi orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga, teman, sahabat, teman kantor, dan teman di organisasi tempatnya bekerja.
Kalau saja anugerah “berpikir” kita manfaatkan dengan baik, tentunya banyak masalah yang bisa kita hindari, dan banyak solusi yang bisa kita temukan. Jadi, jelaslah bahwa berpikir kritis itu untuk dilakukan. Ingin tahu lebih jauh mengenai berpkir kritis? Simak yang berikut.

Apakah Berpikir Kritis Itu?
Banyak definisi yang ditawarkan mengenai berpikir kritis, salah satunya yang dikemukakan oleh Wright Place Consulting adalah sebagai berikut.
Berpikir kritis merupakan sebuah proses. Proses berpikir ini bermuara pada tujuan akhir yang membuat kesimpulan ataupun keputusan yang masuk akal tentang apa yang harus kita percayai dan tindakan apa yang akan kita lakukan.
Berpikir kritis bukanlah dilakukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang terlebih utama adalah mempertanyakan jawaban, fakta, atau informasi yang ada. Dengan demikian bisa ditemukan alternatif atau solusi terbaiknya.

Mengapa Penting?
Berpikir kritis penting untuk dilakukan karena berbagai manfaat yang bisa kita petik dari proses ini.

Kualitas Keputusan
Kualitas berpikir kritis yang kita terapkan akan mempengaruhi kualitas hasil akhir dari tindakan kita yang didahului dengan proses berpikir kritis tersebut. Misalnya, setiap kali mendapat tanggung jawab untuk melakukan sesuatu, Imam selalu memanfaatkan kemampuannya untuk berpikir kritis dengan menerapkan keenam prinsip berpikir kritis yang telah dibahas sebelumnya.
Ketika Imam ditugaskan sebagai ketua panitia peluncuran produk baru perusahaan tempat ia bekerja, ia mencoba memahami berbagai aspek dari tugas yang diberikan kepadanya, termasuk informasi yang bisa ia dapatkan sehubungan dengan tugas tersebut: fitur dan manfaat produk, target pasar dari produk, serta kekurangan dan kelebihan produk tersebut.
Ia juga mempelajari berbagai fasilitas yang bisa ia manfaatkan untuk meluncurkan produk tersebut. Setelah itu, ia melakukan analisis terhadap segala sesuatu yang terkait dengan informasi yang ia terima tentang produk yang akan diluncurkan, antar lain alternatif media, strategi anggaran, dan jangka waktu peluncuran.
Hasil dari analisis adalah berbagai alternatif strategi yang bisa dipilih. Alternatif strategi ini lalu dievaluasi untung ruginya. Hasil dari proses evaluasi adalah keputusan menggunakan satu strategi tertentu.
Keputusan ini perlu dijelaskan kepada anggota tim yang terlibat sehingga mereka bisa mendukung kegiatan yang dilakukan. Imam juga tidak lupa mengevaluasi diri sendiri tentang kemungkinan terjadinya kebiasan pandangan dan keputusan yang sudah diambil sebelum akhirnya menerapkannya dalam tindakan.

Kreatif
Berpikir kritis membantu kita menemukan bukan hanya satu solusi tetapi berbagai alternatif solusi. Berpikir kritis juga membantu kita melihat suatu permasalahan dari berbagai sumber, sehingga berbagai alternatif solusi bisa dikembangkan lebih jauh.
Misalnya Desty yang diminta mempersiapkan rapat tahunan pemegang saham diperusahaan tempat ia bekerja. Walaupun menemui berbagai masalah, melalui proses berpikir kritis, Desty bisa memanfaatkan hasil berpikir kritis untuk kreatif menemukan berbagai alternatif solusinya.

Percaya Diri
Setelah kita melalui proses berpikir kritis, keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang sudah melalui berbagai pertimbangan dari berbagai aspek. Dengan demikian, paling tidak kita sendiri sudah yakin bahwa keputusan tersebut adalah keputusan yang terbaik dalam situasi dan kondisi yang kita hadapi saat itu.

Cara
Lalu, bagaimana cara kita berpikir dengan kritis? Ada enam prinsip penting dalam menerapkan cara berpikir kritis, yaitu: interpretasi, analisis, evaluasi, penjelasan, dan self-regulation.

Interpretasi dan Analisis
Prinsip pertama, interpretasi, adalah upaya memahami informasi yang kita miliki. Setelah informasi berhasil kita pahami dengan baik, kita perlu melakukan analisis terhadap segala sesuatu yang terkait dengan informasi tersebut.

Evaluasi
Selanjutnya, kita perlu melakukan evaluasi terhadap dampak dari pemanfaatan ataupun pengabaian informasi tersebut. Evaluasi juga berupaya untuk menemukan berbagai alternatif solusi dengan memanfaatkan informasi yang dimiliki.

Penjelasan
Setelah kita mendapatkan solusi yang terbaik, kita perlu menjelaskan keputusan kita tersebut kepada orang lain, sehingga mereka juga bisa memahami mengapa keputusan tersebut yang kita ambil.
Lebih jauh lagi, dengan penjelasan yang masuk akal, kita bisa meyakinkan orang lain, ataupun orang-orang yang perlu diyakinkan untuk kita ajak melihat sesuatu dari sudut pandang kita.

“Self-Regulation”
Yang terakhir adalah selfregulation. Yang dimaksud dengan self-regulation adalah mencoba jujur terhadap pandangan dan keyakinan kita, ataupun kemungkinan terjadinya kesalahan atau ketimpangan dalam keputusan yang kita ambil karena pengaruh latar belakang kita.
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda menerapkan cara berpikir kreatif? Jika belum sepenuhnya, mungkin Anda bisa mulai sekarang untuk mendapatkan solusi yang terbaik dan keputusan yang berkualitas.

STRATEGI PENCIPTAAN WIRAUSAHA (PENGUSAHA) KECIL MENENGAH YANG TANGGUH

PENDAHULUAN

Wirausaha merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata entrepreneur.  Dalam Bahasa Indonesia , pada awalnya dikenal istilah wiraswasta yang mempunyai arti berdiri di atas kekuatan sendiri.  Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi wirausaha, dan entrepreneurship diterjemahkan menjadi kewirausahaan. (Kamus Manajemen – LPPM).  Wirausaha mempunyai arti seorang yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha.

Definisi lain tentang wirausaha disampaikan oleh Say, yang menyatakan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang mampu melakukan koordinasi, organisasi dan pengawasan.  Seorang wirausaha adalah orang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang lingkungan dan membuat keputusan-keputusan tentang lingkungan usaha, mengelola sejumlah modal dan menghadapi ketidakpastian untuk meraih keuntungan.

Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong oleh beberapa kondisi.  Kondisi-kondisi yangmendorong tersebut adalah : (1) orang tersebut lahir dan atau dibesarkan dalam keluarga yang memiliki tradisi yang kuat di bidang usaha (Confidence Modalities), (2) orang tersebut berada dalam kondisi yang menekan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi dirinya selain menjadi wirausaha (Tension Modalities), dan (3) seseorang yang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausahawan (Emotion Modalities).

Penelitian yang dilakukan oleh Mc Slelland (1961) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50% pengusaha yang menjadi sample penelitiannya (diambil secara acak) berasal dari keluarga pengusaha.  Penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung juga menunjukkan bahwa sekitar 55% pengusaha tersebut memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha).

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mu’minah (2001) atas 8 orang pengusaha paling sukses di Pangandaran menunjukkan bahwa semua pengusaha tersebut memulai usahanya karena keterpaksaan.

Pada kategori yang ketiga (Emotion Modalities), menurut Muhandri (2002), merupakan pengusaha yang umumnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.  Orang yang masuk dalam kategori ini memang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang wirausaha, dengan banyak mempelajari keilmuwan (akademik) yang berkaitan dengan dunia usaha.  Dalam kategori ini terdapat pengusaha yang langsung memulai usahanya (merasa cukup dengan dasar-dasar keilmuwan yang dimiliki) dan ada yang bekerja terlebih dahulu untuk memahami dunia usaha secara riil.

Era krisi ekonomi yangmelanda Indonesia (tahun 1997) menyebabkan banyak industri besar tumbang.  Hal ini membuka mata pemerintah Indonesia berkaitan dengan timpangnya struktur usaha (industri) yang terlalu memihak pada industri besar.  Pada era reformasi (pasca krisis) terjadi kondisi sebaliknya, yaitu terjadi euphoria berkaitan dengan pengembangan usaha kecil dan menengah.  Banyak sekali usaha pemerintah (terutama dana) yang dicurahkan untuk pengembangan sektor ini (dana Jaring Pengaman Sosial, kredit lunak dari Bank Pemerintah, program pendampingan usaha dan sebagainya).

PERMASALAHAN

Usaha kecil dan menengah (UKM) idealnya memang membutuhkan peran (campur tangan) pemerintah  dalam peningkatan kemampuan bersaing.  Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan di sini bukan dalam arti kemampuan untuk bersaing dengan usaha (industri) besar, lebih pada kemampuan untuk memprediksi lingkungan usaha dan kemampuan untuk mengantisipasi kondisi lingkungan tersebut.

Menurut Staley dan Morse (1965), terdapat karakteristik khusus dari suatu produk yang cocok untuk industri kecil dan ada kelompok produk yang cocok untuk industri besar.  Industri kecil tidak akan mampu bertahan pada kelompok produk yang cocok untuk industri besar.  Dan sebaliknya, industri besar tidak akan tertarik untuk masuk dan bersaing dalam kelompok produk yang cocok untuk industri kecil, karena pertimbangan efisiensi skala usaha.

Peran pemerintah ini juga bukan pada pemberian modal, tetapi lebih pada membina kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong kemampuan industri kecil dalam mengakses modal, (Pardede, 2000).  Atau dengan kata lain, pemerintah harus membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal optimum yang diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke lembaga-lembaga pemberi modal, serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak industri kecil dalam pemberian kredit.

Menurut Haeruman (2000), tantangan bagi dunia usaha, terutama pengembangan UKM, mencakup aspek yang luas, antara lain :

  1. Peningkatan kualitas SDM dalam hal kemampuan manajemen, organisasi dan teknologi,
  2. Kompetensi kewirausahaan,
  3. Akses yang lebih luas terhadap permodalan,
  4. Informasi pasar yang transparan,
  5. Faktor input produksi lainnya, dan
  6. Iklim usaha yang sehat yang mendukung inovasi, kewirausahaan dan praktek bisnis serta persaingan yang sehat.

Namun permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam upaya pengembangan wirausaha (pengusaha UKM) yang tangguh adalah pemilihan dan penetapan strategi (program) untuk dua kondisi yang berbeda.  Kondisi yang dimaksud adalah : (1) mengembangkan pengusaha yang sudah ada supaya menjadi tangguh, atau (2) mengembangkan wirausaha baru yang tangguh.

Strategi (program) pengembangan untuk kedua kondisi tersebut haruslah berbeda (spesifik).  Bahkan strategi pengembangan untuk pengusaha yang sudah ada pun tidak dapat dilakukan dengan “penyeragaman”.  Apa yang disebutkan oleh Haeruman di atas adalah kondisi yang di-generalisasi.  Tiap jenis usaha, bahkan tiap pengusaha pada jenis yang sama akan mempunyai permasalahan yang berbeda.  Diperlukan suatu studi yang matang dan mendalam (diagnosis) untuk mengetahui apa sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh UKM yang akan dibina.  Tanpa studi dan perencanaan yang matang, maka usaha program pengembangan (meski dengan niat yang baik) akan menemui  banyak kendala, misalnya : (1) salah sasaran, (2) sia-sia (mubazir), dan (3) banyak manipulasi dalam implementasinya.  Kasus munculnya koperasi (dan UKM di dalamnya) “dadakan” ketika diluncurkan kebijakan kredit tanpa bunga (kredit dengan bunga yang rendah), dapat dijadikan salah satu contoh kegagalan usaha pengembangan UKM yang dilakukan pemerintah.

STRATEGI PENGEMBANGAN UKM YANG SUDAH ADA

Menurut Hubeis (1997), pengembangan bisnis oleh perusahaan (termasuk industri kecil) pada awalnya ditentukan oleh kemampuan untuk mengidentifikasi (diagnosis) pengelolaan produksi (metode dan kerjasama tim) atas faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan factor eksternal (peluang dan ancaman) melalui analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities dan Threats).  Dengan analisis ini didapatkan tahapan seperti menilai keadaan, menentukan tujuan dan memutuskan (pemilihan dan evaluasi kegiatan).

Teknik diagnosis industri kecil salah satunya adalah menggunakan metode PRECOM (Pre-Commercialization) atau refleksi pemasaran yang didukung oleh perangkat analisis sistematik seperti analisis fungsional, analisis proses dan analisis strategi (Hubeis, 1991).  Teknik diagnosis dengan metode PRECOM ini kemudian dikembangkan oleh Hubeis, dapat dilihat pada Gambar 1.

Dari teknik diagnosis yang saling mendukung dan melengkapi tersebut diperoleh beberapa peubah penting  dari hal yang dikaji (kondisi umum dan rencana aksi), yaitu definisi komersial produk, positioning produk / perusahaan di pasar produk, identifikasi dari ragam produksi suatu produk, diagnosis fakta produksi dan komersialisasi, serta tindak lanjut pengembangan produk.

Diagnosis ini mutlak diperlukan untuk mengidentifikasi karakteristik dari produk yang dihasilkan (keunggulan yang telah ada atau memungkinkan untuk dikembangkan), pasar yang telah dimasuki (peluang pengembangan dan kemampuan tambahan yang diperlukan), teknologi yang digunakan (optimalisasi penggunaan teknologi disesuaikan dengan karakteristik industri kecil tersebut), akses bahan baku dan asupan lainnya (kendala yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya), modal yang terserap (optimalisasi kebutuhan modal disesuaikan dengan peluang pasar), serta aspek manajerial pengelolaan (pembukuan, organisasi dsb.)

Diagnosis yang baik akan menghasilkan tipologi industri kecil berdasarkan peluang pengembangannya.  Dari tipologi ini dapat disusun suatu strategi pengembangan yang spesifik sesuai dengan tipologi yang dimiliki oleh industri kecil tersebut.  Jika strategi pengembangannya (ingin menjadi seperti apa dan kapan pencapaiannya) sudah jelas, maka program pembinaan yang diberikan oleh pemerintah juga tidak akan salah sasaran.

Sebagai ilustrasi, industri kecil yang sudah pasarnya sudah maksimum, akan diberikan pembinaan dengan tujuan untuk bertahan, atau membuat differensiasi produk.  Industri kecil yang ingin memasuki segmen pasar menengah ke atas, diberikan pembinaan yang berkaitan dengan tujuan peningkatan mutu produk dan pelayanan.  Pengusaha kecil yang memiliki tingkat pendidikan terbatas akan diberikan pembinaan berkenaan dengan aspek manajerial, dan seterusnya.

STRATEGI PENCIPTAAN WIRAUSAHA BARU YANG TANGGUH

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan di Indonesia (seperti yang telah disebutkan di atas), mayoritas pengusaha yang sukses berasal dari keluarga dengan tradisi yang kuat di bidang usaha (bisnis).  Sehingga dapat digarisbawahi bahwa kultur (budaya) berwirausaha suatu keluarga atau suku atau bahkan bangsa sangat berpengaruh terhadap kemunculan wirausaha-wirausaha baru yang tangguh.

Kultur ini tidak dapat ditanamkan dalam sekejap.  Harus ada program yang terpadu untuk menanamkan jiwa wirausaha sejak dini kepada anak-anak.  Meskipun penulis belum melakukan penelitian terhadap persepsi siswa-siswa sekolah di Indonesia, tetapi dari pengamatan dan wawancara dengan beberapa siswa (termasuk siswa sekolah kejuruan) sedikit sekali prosentase dari mereka yang ingin menjadi wirausaha.  Atau pertanyaan yang penulis ajukan kepada beberapa orang tua (mungkin termasuk penulis), penulis mendapat jawaban bahwa sedkit sekali orang tua yang ingin anaknya menjadi wirausaha (kecuali orang tuanya berprofesi sebagai pengusaha).

Kultur beberapa suku di Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha sehingga banyak wirausaha tangguh yang berasal dari suku tersebut.  Namun secara umum kultur masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi yang relatif “tanpa resiko” (misalnya menjadi pegawai negeri, ABRI atau bekerja di perusahaan besar).  Penulis mengakui bahwa pernyataan ini baru sebatas hipotesa yang harus dibuktikan kebenaran dan keabsahannya.  Pada tataran ini pemerintah menyusun suatu program yang ditujukan untuk menanamkan budaya wirausaha dengan sasaran para siswa sekolah  khususnya dan pada masyarakat pada umumnya.  Usaha ini tidak mudah, tetapi jika kita mau belajar pada keberhasilan program keluarga berencana (KB), hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilaksanakan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.

Pada tataran lain yang lebih operasional, usaha penciptaan wirausaha baru yang tangguh ini akan lebih baik jika dilakukan terhadap lulusan perguruan tinggi yang telah memiliki dasar keilmuwan dan intelektualitas yang tinggi.  Hal ini didasari oleh kondisi persaingan usaha di era globalisasi yang menuntut kemampuan seorang wirausaha yang benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi.

Salah satu pola pengembangan wirausaha yang tangguh (dan unggul) adalah dengan memberikan  bantuan pendidikan, pelatihan dan magang yang didukung oleh fasilitas / akses teknologi, manajemen, pasar, modal, serta informasi (baik yang umum maupun yang spesifik).  Pola ini dikenal dengan pola Inkubasi Bisnis (lihat Gambar 2).

Gambar 2. Pola pembentukan calon wirausaha tangguh dengan pola Inkubasi Bisnis

KESIMPULAN

Strategi pengembangan dengan tujuan penciptaan wirausaha yang tangguh (baik wirausaha baru maupun yang berawal dari wirausaha yang sudah ada) tidak dapat dilakukan tanpa kajian dan pertimbangan yang matang.  Strategi dan program yang dijalankan tanpa kajian yang matang tidak akan memberikan hasil yang optimum (bahkan menjadi suatu kesia-siaan).

Penciptaan wirausaha baru yang tangguh dapat dilakukan pada tataran penciptaan iklim yang mampu menanamkan budaya wirausaha, dan pada tataran operasional dengan (salah satunya) pola Inkubasi Bisnis.  Penciptaan wirausaha tangguh dari wirausaha yang sudah ada harus didahului dengan diagnosis untuk mengetahui permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh wirausaha tersebut.

KEPEMIMPINAN BANGSA, TANTANGAN DAN SOLUSI PEMECAHANNYA

Momentum Reformasi saat ini telah menginjak 10 tahun sejak bergulir di tahun 1998 lalu. Sejak era reformasi bergulir, ada beberapa capaian pemerintah yang berhasil dilakukan. Namun demikian, Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan internal bangsa. Beberapa diantaranya adalah tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan angka anak putus sekolah, banyaknya bencana alam, meningkatnya kerusakan lingkungan, lemahnya penegakan hukum, yang artinya hukum yang lebih banyak memihak kepada penguasa dan pemilik modal ketimbang kepada rakyat banyak, dan masih banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak atau belum tuntas, serta adanya krisis kepemimpinan.

Pada tahun 2008 lalu dunia dan kita semua tentunya telah mengetahui apa yang telah terjadi di belahan benua Amerika, pergantian kepemimpinan yang dulu dipegang oleh George W. Bush yang oleh sebagian pihak khususnya beberapa organisasi Islam dianggap tidak berlaku adil terhadap negara Irak, sekarang telah beralih ke tangan seorang Demokrat yaitu Barack Hussein Obama yang diharapkan membawa kebijakan-kebijakan yang lebih baik dari presiden sebelumnya dengan mengusung bendera perubahan dan HAM. Kenyataan tersebut telah membuktikan bahwa kepemimpinan adalah suatu unsur yang mutlak dan harus ada dalam suatu penyelenggaraan negara sehingga kapasitas dan kapabilitas seorang pemimpin haruslah dapat mengaktualisasikan keinginan rakyat dan negaranya.

Dalam sistem ketatanegaraan kita pun sebentar lagi akan menghadapi prosesi demokratisasi publik yaitu Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada bulan Juli 2009. Untuk menghadapi pesta demokrasi tersebut kita semua hendaknya dapat belajar dari pengalaman reformasi kita, ada yang merasa agenda reformasi sudah selesai karena mantan presiden Soeharto telah lengser, ada kelompok yang ingin agar proses demokrasi tercapai tidak hanya sekedar dorongan, namun tidak ada komitmen selanjutnya, dan ada lagi kelompok yang tidak puas dengan keduanya namun tidak memiliki visi yang jelas selain “menganggu” proses yang sudah berjalan, dengan selalu mengatakan keadaan lebih baik di masa lalu.

Melihat kenyataan seperti ini, pekerjaan untuk menjalankan agenda reformasi menjadi lebih berat, padahal kondisi yang kondusif amat diperlukan bagi bangsa kita yang masih berjalan menyempurnakan seluruh sistem negara kita dengan baik.

Namun kita tidak boleh putus asa, kita harus terus melakukan regenerasi, sehingga penerusan idealisme kebangsaaan yang murni terus berlangsung. Dengan komitmen yang kuat, Pemilu 2009 bisa lebih jauh berkualitas sehingga keinginan bangsa kita menghasilkan pemimpin nasional di masa depan dapat tercapai.

Di masa kini, di era Reformasi, faktor kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting karena di tangan pemimpin lah tujuan reformasi dapat dicapai atau malah semakin jauh dari tujuannya. Kita semua menyadari akan perlunya rekonstruksi menyeluruh atas kepemimpinan nasional. Kita tidak boleh terus mencetak penguasa tapi bukan pemimpin.

Tantangan kepemimpinan Indonesia tidak terlepas dari tantangan Indonesia di masa depan. Hal ini dinyatakan dalam Ketetapan MPR nomor VII tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Dalam Ketetapan MPR tersebut dijabarkan tujuh poin tantangan masa depan, yaitu tahun 2020, yaitu:

Pertama mengenai pemantapan persatuan bangsa dan kesatuan negara. Sesuai dengan UUD 1945, kita semua menyepakati bahwa negara kita berbentuk negara kesatuan (Republik Indonesia). Oleh karena itu, keutuhan dan integrasi bangsa tidak boleh ditawar-tawar lagi. Hal ini menjadi lebih berat karena masyarakat kita yang majemuk dengan berbagai ras dan suku bangsa di dalamnya, namun hal itu semestinya harus dihadapi karena merupakan komitmen kita bersama.

Kedua yaitu sistem hukum yang adil. Dalam UUD 1945 telah pula ditambahkan mengenai hal yang berkenaan dengan hak asasi manusia. Konsekuensinya, hukum yang adil adalah hukum yang menghormati hak-hak asasi manusia tanpa memandang latar belakang posisi atau kedudukan. Indonesia sebagai negara hukum wajib menegakkan hukum yang adil bagi seluruh komponen bangsa tanpa memihak satu kelompok. Hal ini juga telah disinggung pada paparan di atas bahwa masyarakat selalu merasa dikorbankan untuk kepentingan pemilik modal dan penguasa. Ini merupakan tantangan untuk Indonesia, terutama setelah poin mengenai hak asasi manusia telah tercantum dalam hukum dasar tertinggi negara ini yaitu UUD 1945.

Ketiga ialah sistem politik yang demokratis. Dengan pencapaian besar Indonesia dalam memilih langsung presidennya, saat ini kita masih menata kehidupan politik kita untuk sistem politik yang lebih demokratis. Partisipasi masyarakat juga ditunjukkan pada banyaknya partai politik setelah dimasa lalu hanya dibatasi dengan 3 parpol saja.Proses perubahan UUD 1945 yang dilakukan ternyata masih dianggap belum komprehensif sehingga kedepannya ini juga menjadi salah satu agenda terbesar kita, karena ada hambatan disana-sini setelah UUD hasil amandemen dijalankan. Namun semuanya memang wajar karena proses perubahan politik memerlukan waktu dan penyesuaian karena kita telah terbiasa selama 32 tahun dengan sistem politik yang lama.

Keempat adalah sistem ekonomi yang adil dan produktif. Yang dimaksudkan adil adalah ekonomi yang memihak kepada rakyat. Indonesia ternyata diketahui masih tergantung dengan pihak asing untuk kebutuhan dasarnya. Apabila hal ini tidak disiasati oleh pemimpin di masa yang akan datang, gejolak sosial tentu akan terjadi. Ke depan kita harus memperkuat sistem ekonomi kita sendiri, yang independen, swasembada keperluan pangan kita dan bebas tekanan pihak lain.

Yang kelima adalah sistem sosial budaya yang beradab. Dengan keragaman suku dan adat istiadat di Indonesia, budaya yang beradab amat diperlukan sehingga akan tercipta perdamaian, tenggang rasa dan saling menghormati antara budaya yang satu dengan yang lain. Begitu pula dengan adanya keragaman agama. Apabila seluruh umat manusia memiliki adab, kita tentu tidak merasa lebih hebat daripada yang lain, namun menunjukkan sikap saling hormat dan setara antar satu pemeluk agama dengan agama atau kepercayaan yang lain.

Tantangan yang keenam yaitu, sumber daya manusia yang bermutu. Hal ini berkaitan dengan sistem pendidikan. Sejak jaman kemerdekaan, jumlah masyarakat yang melek huruf dan sadar artinya pendidikan semakin meningkat, dan ini akan menjadikan bekal bagi sumber daya manusia Indonesia. Di masa depan diharapkan para ahli pengelola sumber daya alam datang dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga kita mampu memproduksi sendiri kebutuhan negara kita tanpa perlu mengimpor tenaga ahli dari negara lain.

Yang terakhir adalah tantangan globalisasi. Di era globalisasi, negara seakan hidup tanpa batas wilayah karena adanya kemajuan teknologi informasi, internet, dan transportasi. Informasi di wilayah lain dapat langsung dinikmati dalam hitungan menit, bahkan detik. Maka siapa yang tidak menguasai teknologi akan mengalami kemunduran. Untuk menghadapi ini, Indonesia haruslah mendorong peningkatan sumber daya manusia yang mumpuni, sekaligus pemimpin yang sadar akan kemajuan teknologi di era globalisasi saat ini.

Dengan berbagai tantangan di atas, pemimpin yang diharapkan hadir di Indonesia adalah pemimpin yang memiliki visi ke depan, intelektual dan tentunya memahami tantangan bangsa ke depan seperti yang telah disampaikan di atas. Pemimpin dalam hal ini tidak hanya presiden saja, tapi pemimpin dalam arti luas.

Sesuai dengan tema mengenai pemilihan presiden dan masa depan bangsa, dapat ditarik sebuah pertanyaan bagaimana pemimpin yang berdaulat secara ekonomi, politik, dan ketahanan itu? Kedaulatan bukanlah milik pemimpin semata, pemimpin yang baik justru pemimpin yang mampu membangun kemandirian bangsa serta mempertahankan kedaulatan bangsa bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya, kedaulatan adalah milik rakyat, bukan milik pemimpin. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kedaulatan maupun kemandirian di segala bidang. Pemimpin seperti ini mutlak kita perlukan.

Pemimpin wajib mempertahankan kedaulatan serta mampu membangun kemandirian bangsa. Ini sangat penting mengingat adanya keterkaitan antara kedaulatan dan kemandirian bangsa yang sangat erat. Kedaulatan bangsa menjadi semakin kokoh ketika bangsa tersebut mampu mandiri dan berdaya atas kemampuan yang dimilikinya sendiri. Ketika sebuah bangsa mampu berdaulat secara politis, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan pertahanan keamanan maka sudah sepatutnya bangsa tersebut mandiri dalam segala bidang kehidupan.

Indonesia adalah suatu negara yang memiliki potensi untuk menjadi negara besar. Aspek jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan sumber daya alam, kebhinekaan agama, etnis dan kultur, memberi peluang untuk berkembang menjadi besar. Tetapi, perjalanan bangsa ini, ibarat mendaki sebuah gunung yang terjal, tantangan selalu menghampiri dan mengancam perjalanan bangsa. Oleh karena itu, tidak saja diperlukan sikap yang berhati-hati, tetapi juga kesabaran, dan kebijakan (wisdom).

Founding fathers telah memperlihatkan karakter bangsa pejuang yang ulet dan hebat, yang menolak didikte dan merancang sendiri skenario masa depan bangsanya. Di sisi lain, kita prihatin bahwa sebagai suatu bangsa, tekad kita untuk menjadi bangsa yang mandiri kian merosot dan ketergantungan kita semakin meningkat. Kekurangan beras, solusinya impor beras, hingga kita pernah menjadi negara importir beras terbesar di dunia. Kekurangan gula solusinya juga impor, hingga sekarang kita mengimpor gula. Padahal untuk semua itu, dengan biaya yang lebih rendah, serta menghemat devisa, kita bisa membuat solusi dengan meningkatkan produksi. Utang luar negeri negara kita setiap tahun juga terus meningkat. Banyaknya devisa yang kita gunakan untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang luar negeri telah mengurangi kemampuan negara untuk melakukan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat dan menekan nilai rupiah.

Semangat Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah pemyataan politik untuk menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri. Bung Karno menegaskannya dalam Pidato Trisakti tahun 1963; Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian secara sosial budaya. Negara yang berhasil membangun kemandiriannya akan menumbuhkan kebanggaan pada warganya dan mendorong mereka berprestasi maksimal bagi kemajuan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Dengan kemandirian itulah eksistensi suatu bangsa dan standar kesejahteraan yang tinggi bagi setiap warganya akan terjamin. Membangun kemandirian bangsa di era sekarang juga berarti meningkatkan integritas dan kapabilitas bangsa untuk dapat secara cerdas menentukan pilihan dan mewujudkan cita-cita membangun negara modern yang bertumpu pada kemampuannya sendiri, dengan memanfaatkan dinamika dunia yang semakin didorong maju oleh proses globalisasi.

Terkait dengan pembangunan kedaulatan bangsa maka Indonesia sebagai negara demokratis yang kedaulatannya berada di tangan rakyat telah dengan tegas menyatakan hal ini di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan pernyataan ini maka semakin tegaslah bahwa pemerintah memperoleh kedaulatannya dari rakyat dan mandat ini sarat akan pesan bahwa kedaulatan ini harus dilaksanakan pemerintah atas kehendak rakyat (common will). Makna kedaulatan rakyat merupakan pemaknaan yang luas dan mendalam bahwa pemerintah khususnya dan bangsa umumnya merupakan perwujudan dan kedaulatan yang diberikan rakyat. Pemerintah berkewajiban dalam hal ini untuk melaksanakan mandat rakyat dalam upaya untuk memajukan dan mensejahterakan kehidupan rakyat.

Kemudian pada sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengisyaratkan bahwa kedaulatan yang dimiliki bangsa Indonesia adalah kedaulatan yang mengemban semangat rakyat untuk berdemokrasi dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Kepentingan bangsa dan negara harus ada di atas kepentingan pribadi atau golongan, yang ini diimplemetasikan dalam semangat musyawarah dan terwakili dalam lembaga/badan perwakilan rakyat. Perwujudan kedaulatan bangsa tidak hanya melalui peran wakil rakyat di lembaga negara. Tapi bentuk kedaulatan yang lain juga mengharuskan rakyat untuk berpartisipasi aktif di dalamnya. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Ini mencerminkan bahwa sekali lagi faktor rakyatlah yang memegang peranan kunci untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan bangsa.

Tidak kalah penting adalah upaya dalam membangun kedaulatan atas sumber daya alam mengingat penguasaan asing terhadap sumber daya alam yang semakin marak. Kedaulatan sumber daya alam mutlak diperlukan agar kita mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedaulatan lain yang wajib kita pertahankan adalah kedaulatan budaya untuk menumbuhkan mentalitas bangsa yang bangga atas keberagaman dan kekayaan budaya sendiri. Kedaulatan budaya ini meliputi kekayaan intelektual yang dimiliki bangsa kita secara turun temurun. Jangan sampai kekayaan bangsa diklaim bangsa lain. Dengan demikian kedaulatan tidak hanya mencakup kedaulatan atas wilayah negara saja namun meliputi segala bidang kehidupan, baik politik, pertahanan keamanan, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

Membangun kemandirian dapat meliputi kemandirian ekonomi dan politik bangsa. Kemandirian ekonomi menjadi ujung tombak bagi mandirinya bangsa kita dari ancaman pihak asing. Kemandirian ekonomi ini juga harus diikuti dengan kemandirian politik yang kuat dari Pemerintah kita. Pemerintah harus memiliki independensi bebas dari pengaruh negara manapun dalam membuat dan menentukan kebijakan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemandirian dari segi ekonomi harus menjadi faktor yang ikut berperan dalam memperkuat kemandirian bangsa. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, dengan jelas menyatakan bahwasanya pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan privatisasi terhadap industri yang berorientasi kepentingan nasional. Kemandirian ekonomi harus dibangun di atas sendi perekonomian nasional yang diselenggarakan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (4).

Terkait dengan pembangunan kemandirian bangsa dan kedaulatan bangsa, MPR telah merumuskan kebijakan yang dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Ketetapan tersebut dapat dijadikan acuan bagi pemimpin bangsa karena telah memberikan fokus dan arah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang lebih baik melalui upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Semua itu, bukanlah pekerjaan mudah, diperlukan adanya niat baik semua pemimpin bangsa maupun partisipasi aktif segenap komponen bangsa untuk membantu merealisasikan amanat tersebut.

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa pembangunan kemandirian bangsa terkait dengan pembangunan kedaulatan bangsa. Kedaulatan bangsa dalam semua bidang harus ada dalam rangka menjamin tumbuhnya kemandirian bangsa Indonesia. Ketika kedaulatan bangsa atas sumber daya yang ada di dalamnya dapat kita jaga maka kemandirian bangsa dapat kita lakukan pula terhadap sumber daya tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut maka apabila dihubungkan dengan tantangan masa depan Indonesia yang disebutkan dalam Ketetapan MPR nomor VII tahun 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 Tentang Pemantapan Persatuan Dan Kesatuan Nasional, pemimpin nasional Indonesia haruslah memiliki karakter antara lain sebagai berikut:

1. Mampu mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Pemimpin seperti ini akan mampu menerapkan nilai-nilai luhur melalui pendidikan formal, informal dan nonformal sehingga mampu memberi contoh keteladanan yang baik;

2. Dapat menjadi tokoh pemersatu bangsa;

3. Dapat diterima di seluruh rakyat, apapun latar belakang suku, agama ataupun pendidikannya;

4. Berkomitmen untuk menegakkan hukum dengan adil, misalnya terus menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang telah merugikan negara;

5. Mampu mengayomi seluruh rakyat dengan bersikap arif di era transisi politik ini. Pemimpin seperti ini hendaknya tidak hanya memikirkan kelompok atau partai politiknya saja, tapi terus berkomitmen untuk perbaikan bangsa secara utuh;

6. Berkomitmen untuk rakyat dalam bidang ekonomi. Hal ini memerlukan keberanian sang pemimpin tentu saja, namun apabila demi rakyat banyak terutama rakyat kecil, hal ini amat mungkin diwujudkan. Misalnya dengan kebijakan kenaikan bahan bakar minyak, perlu diupayakan kebijakan ini tidak membebani rakyat kecil, namun memberikan porsi lebih untuk BBM yang digunakan masyarakat yang lebih mampu secara finansial dan memiliki kendaraan mewah;

7. Mengedepankan solidaritas sosial budaya. Dengan keragaman suku bangsa yang dimiliki Indonesia, dan rasa primordialisme yang masih kental, tugas pemimpin lah sebagai model agar segala sesuatu didasarkan atas kinerja seseorang dan bukan atas latar belakang suku dan agamanya. Dengan hal ini maka tindakan nepotisme bisa berkurang;

8. Berkomitmen tinggi terhadap pendidikan. Pemimpin Indonesia di masa depan, selayaknya terus mendorong anggaran pendidikan 20% yang sudah ditentukan oleh UUD 1945;

9. Komitmen untuk globalisasi yang arif. Berdasarkan hal ini, pemimpin harus mendorong percepatan informasi namun kearifannya mampu dengan bijak mengadopsi kemajuan teknologi untuk masyarakat yang lebih cerdas.

Demikianlah tulisan pendek mengenai Kepemimpinan Bangsa, Tantangan dan Solusi Pemecahannya yang dapat disampaikan, mudah-mudahan figur-figur kepemimpinan yang baik untuk bangsa ini akan kembali tercipta. Amin.

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!